Apa
yang paling parah dari film Hollywood? Tentu saja kebohongannya tentang
Amerika. Dari aksi heroik Rambo yang sendirian mampu menghabisi satu pasukan
tempur tanpa lecet, sampai kemenangan naif Amerika di setiap film-film
perangnya, termasuk perang Vietnam yang nyata-nyata membuktikan kekalahan telak
mereka hampir dalam setiap pertempuran.
Belakangan,
tak hanya film yang membuat masyarkat dunia sadar telah dininabobokkan oleh
kebohongan Amerika. Media dan jurnalisme di sana -yang ironisnya seringkali
menjadi kiblat kebebasan media- (termasuk di Indonesia) tenyata tak lebih
sebagai aktor pembohong nomor satu di dunia. Contohnya pada kasus Invasi Irak.
Investigasi resmi internasional menyimpulkan, Irak tidak memiliki senjata
pemusnah massal. Namun, dengan bantuan media korporat Amerika, Bush membohongi
publik agar percaya pada kabar bohong tersebut dengan maksud untuk meraih
dukungan dan legalitas atas invasi ke Irak.
Banyak
fakta penting lainnya yang tidak pernah diberitakan CNN, Fox News, ABC, CNBC,
atau BBC. Lebih parah lagi, berita-berita yang berasal dari media tersebut juga
diputar ulang oleh media televisi lokal negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Sebutlah fakta-fakta berikut ini:
·
PNAC (Project for a New American
Century) menguasai pemerintah Amerika. Mereka memiliki banyak motif yang
membuka pintu bagi terjadinya serangan 9/11.
·
Tentara AS tertawa sambil menari-nari
mengelilingi tubuh warga sipil Irak yang tewas bersimbah darah.
·
AS menahan bocah 11 tahun di penjara
Abu Ghraib. Mantan komandan AS mengatakan berdasarkan investigasi umum, terjadi
penganiayaan di penjara itu.
·
Para polisi Inggris yang beroperasi di
Basrah menyiksa setidaknya dua orang warga sipil hingga mati dengan menggunakan
bor listrik.
·
AS mengambil keuntungan dari merebaknya
perdagangan opium di Afghanistan.
·
Seorang tahanan di Guantanamo
pada bulan April 2003 melaporkan kepada FBI bahwa ia dipaksa berdiri telanjang
di hadapan seorang interogator wanita.
·
Virus HIV AIDS itu asal mulanya bukan
dari simpanse, tapi ciptaan para ilmuwan yang kemudian diselewengkan melalui
rekayasa tertentu untuk memusnahkan etnis tertentu.
·
Fluorida yang terkandung dalam pasta
gigi untuk jangka panjang membahayakan kesehatan. Tapi, selama 50 tahun lebih,
pemerintah dan media AS menganjurkan fluorida sebagai sarana yang aman dan
efektif untuk mencegah gigi berlubang.
·
Senjata pemusnah massal milik AS,
seperti tabung uranium, jarang sekali disebutkan media Amerika, tak terkecuali
dampak jangka panjangnya.
Apakah
fakta-fakta tersebut diberitakan media Amerika? Jawabnya tentu saja tidak
pernah. Lalu apa yang ditampilkan media di sana? Tak ayal,mereka hanya sibuk
melaporkan berita-berita yang mengharumkan nama pemerintah AS sementara
kebenaran yang barangkali akan mengotori citra itu disingkirkan. Apakah ini
yang disebut jurnalisme? Tentu saja bukan. Ini hanyalah manipulasi citra dan
pikiran.
Bagaimana
tentang Indonesia? Serangkaian aksi pengeboman di Indonesia tampaknya
lebih merupakan kampanye terselubung intelijen Barat dan media untuk memberi
kesan bahwa Indonesia adalah negara teroris. Mereka mengobarkan kemarahan
kelompok-kelompok muslim lokal dengan menyebarkan fitnah dan membuat
istilah-istilah: Islam Garis keras, Islam Radikal, Islam Puritan, dan
sebagainya.
Lewat
riset pribadi yang mendalam dan meyakinkan, Jerry D. Gray menemukan banyak
fakta mengenai media televisi korporat (terutama di Amerika Serikat).
Peristiwa-peristiwa dunia yang kerap kita saksikan lewat berita televisi telah
dipelintir, dimanipulasi dengan kebohongan, bahkan tipuan. Media korporat Amerika
telah mengalami pergeseran dari sarana yang melaporkan berita aktual menjadi
mesin propaganda yang setia mendukung presiden dan pemerintah AS, terlepas
kebijakan presiden tersebut keliru maupun benar.
Dalam
buku ini, Gray misalnya memaparkan kebobrokan media Amerika yang berprestasi
menyelamatkan George W. Bush sehingga lepas dari pelanggaran serius atas
undang-undang dan hukum internasional. Tidak pernah ada satu pun investigasi
serius yang dilakukan untuk menangani perilaku Bush yang tak kenal hukum walaupun
sudah banyak bukti yang memberatkannya.
Sebelum
invasi ke Irak, pemerintahan Bush mengklaim bahwa Muhammad Atta (terdakwa
pimpinan serangan 11 September) bertemu dengan pejabat intelijen Irak di Praha.
Pertemuan itu diduga sebagai bukti adanya kaitan antara Saddam dengan Al-Qaeda.
Walaupun presiden Ceko menyatakan bahwa klaim tersebut tidak benar, pejabat
pemerintahan Bush tetap bersikeras menjadikan pertemuan tersebut sebagai alasan
untuk melancarkan perang. Maka terjadilah perang itu.
Dua
tahun kemudian, lebih dari 1.700 pasukan sekutu gugur, puluhan ribu luka-luka.
Sementara itu, di pihak Irak terjadi kematian hampir 100 jiwa tiap minggunya.
Meski tak ada data resmi, diperkirakan puluhan ribu jiwa telah menjadi korban
dan media berita tetap bungkam.
Selain
tidak memberikan laporan akurat mengenai jumlah korban, media Amerika juga
tidak pernah menginformasikan tentang kerusakan alam, properti serta
penderitaan rakyat Irak. Mereka hanya mempublikasikan “kejayaan” serdadu
Amerika sambil membiarkan nasib penduduk sipil yang terbunuh hampir setiap harinya.
Kebanyakan warga Amerika hidup dalam ilusi bahwa perang tidak banyak
menimbulkan pertumpahan darah dan kerusakan. Perang di mata media AS
adalah perjuangan menegakkan demokrasi. Mereka agak sulit menyadari bahwa
senjata penghancur, bom, rudal, dan tomahawk mereka
telah merenggut jutaan nyawa manusia. Kondisi yang bahkan sangat jauh dari
prinsip HAM dan demokrasi–yang konon dijunjung tinggi negara Amerika .
Lewat
fakta-fakta meyakinkan yang disajikan buku ini, pembaca diajak menelusuri
betapa hebatnya media Amerika memanipulasi pikiran masyarakat melalui “berita”
yang yang mereka sajikan. Buku yang di Indonesia diterbitkan dan diterjemahkan
oleh UFUK Press ini sangat layak dibaca oleh siap saja, khususnya pemerhati
media. Namun demikian, terdapat beberapa hal yang mengurangi kenyamanan
membaca buku ini.Pertama, seperti
saya jumpai di beberapa buku UFUK yang lain, spasi dan font yang digunakan
terlalu besar dan renggang sehingga mengesankan “asal tebal”. Barangkali
strategi ini menjadi cara penerbit memaksimalkan keuntungan. Kedua, buku yang
ditulis Gray ini seolah terlalu bersemangat dalam penyajian data-data sehingga
sistematika dan elaborasi analisisnya kurang runut dan mendalam. Ketiga,
menjadi agak aneh dan terkesan asal comot ketika bagian terakhir buku ini
secara utuh memasukkan prinsip 9 elemen jurnalisme dari Kovach dan Rosenstiel
sebagai parameter menilai etika media. Ironisnya tanpa menyebutkan sumbernya.
Pertanyannnya, apakah ini tambahan dari editor atau versi penulis
aslinya? Seharusnya bahasan etika tersebut bisa diintegrasikan lebih smooth.
Media
Amerika, Separah Itukah?
Di
luar buku Gray, para wartawan maupun akademisi bidang jurnalistik rata-rata
berkomentar buruk tentang media massa di Amerika Serikat (AS). ”Pers Amerika
sedang menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakatnya, ” tutur Tom Baxter,
redaktur di The Atlanta Journal-Constitution. Hal serupa juga diungkapkan
wartawan dari Associated Press, Chicago Tribune, San Francisco Chronicle, The
Sacramento Bee, Chicago Sun-Times, Athens Banner Herald, Sacramento News &
Review, dan The Washington Times (Masha, 2006).
Hal
itu juga diakui Robert Dietz dari Committe to Protect Journalists. Bahkan ia
menyebut jaringan televisi kabel CNN sebagai pabrik berita. Nada paling minor
ditujukan ke jaringan televisi Fox milik Rupert Murdoch. Namun mereka mengakui,
dari semua ragam media, media cetak paling bisa dipercaya.
Mengapa
krisis ini bisa terjadi? Barangkali ungkapan paling lugas dikemukakan Robert W
McChesney. Melalui bukunya yang berjudul The Problem of the Media: US
Communication Politics in the Twenty-First Century, ia menilai bahwa pers AS
memasuki fase the age of hyper commercialism sehingga
jurnalisme sedang berada pada situasi krisis yang luar biasa. Berita telah
menjadi komoditas dan profesionalisme wartawan berhadapan dengan kontrol
perusahaan. Tentu saja hal itu karena perusahaan selalu melihat sisi keuntungan
bisnis, sedangkan pers selalu melihat dari sisi kepentingan publik. Padahal,
saat ini, 75 persen pendapatan perusahaan diraup dari iklan. Pers memang dalam
dilema.
James
T Hamilton, dalam bukunya yang berjudul All
the News That’s Fit to Sell: How the Market Transforms Information into
News (Semua Berita yang Layak Jual: Peran Pasar dalam Mengubah
Informasi Menjadi Berita), menegaskan peran bisnis dalam jurnalistik. Judul
buku itu sendiri menyindir motto The New York Times, yaitu All the News That’s Fit to
Print (Semua Berita yang Layak Cetak).
Hal
itu makin menegaskan tekanan kepentingan bisnis dalam pemberitaan. Karena itu
Hamilton mengajukan pertanyaan, siapa sebenarnya yang membunuh berita? Melalui
riset yang tekun dengan menyajikan isi koran-koran di AS sejak dulu hingga
kini, ia menggambarkan perjalanan pers AS yang dari waktu ke waktu memuat
berita yang sesuai tuntutan pasar. Pada akhirnya pasar yang membuat agenda setting media
massa.